Saya dan Efek Konmari

Sudah beberapa bulan belakangan saya berniat berbagi cerita tentang Konmari. Tepatnya setelah saya mempraktekkan apa yang diajarkan Marie Kondo, si ibu penemu metoda decluttering atau bebersih, ini sekitar 6 bulan lalu. Awalnya berjudul coba-coba, walau jauh di lubuk hati yang paling dalam, pertama mendengar tentang buku dan review isinya dari sahabat tercinta sekitar 2 tahun lalu, saya sudah langsung tau bahwa ini akan menjadi salah satu ‘kitab’ bebersih saya. Lah wong kata saktinya adalah “spark joy”, alias membuat bahagia. Dan siapa pun yang mengenal saya tentu tau bahwa bahagia adalah salah satu filosofi hidup saya. Tapi sampai 6 bulan yang lalu, saya masih terlalu takut untuk membaca buku itu. Takut terlalu menggebu-gebu dan tidak bisa fokus mengerjakan yang lain. Untuk buku yang seperti ini, saya selalu menunggu momen yang pas. Karena, setiap buku yang spesial perlu waktu khusus dan persiapan energi yang cukup banyak untuk meresapi maknanya. Waktunya datang di bulan September, ketika saya memutuskan untuk rehat dari dunia pekerjaan. Coba-coba ini ternyata berakhir dengan menjadi pengikut taat.

Inti metoda bebersih ini cukup sederhana. Bahwa kita hanya menyimpan benda-benda yang membuat kita bahagia. Lupakan berbagai tips atau himbauan lain untuk mengurangi jumlah benda kita, maupun membatasi jumlah benda akhir untuk dimiliki. Pokoknya, semua yang lolos seleksi adalah ya yang spark joy itu tadi.

Sederhana? Teorinya, iya. Prakteknya, cukup. Efeknya, luar biasa! Baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, perbendaan saya yang sudah diangkut kiri kanan sejak mulai hidup mandiri di tahun 1996 sampai 2016 berkurang 70%. Drastis! Secara psikologis, banyak. Sangat. Jauh lebih dahsyat dari yang saya bayangkan.

  1. Ringan. Ungkapan bahwa barang yang kita miliki memancarkan energi yang mengalir di sekitar kita itu ternyata benar. Saya sering mendengar atau membaca tentang energi dan kepemilikan barang (posession), tapi menganggap konsep ini terlalu mengawang-ngawang. Tapi percaya tidak percaya, saya benar-benar merasa udara sekitar lebih ringan dan bersih. Efek ikutannya, saya jadi lebih riang dan bahagia. Ya iyalah, di rumah menengok ke kiri kanan atas bawah semua benda bikin riang gembira, jadi sering senyum-senyum sendiri deh.
  2. Lebih sering bersyukur. Salah satu ritual dalam konmari adalah mengucapkan terima kasih pada setiap benda yang ingin kita lepas atas peran mereka dalam hidup kita. Terdengar konyol, berterima kasih kepada benda semisal baju, buku, daleman, pulpen, bahkan sendok. Namun seiring dengan praktek tersebut, saya belajar menghargai setiap benda yang saya miliki dan yang kemudian akan saya beli nantinya sekecil apapun itu. Mereka dibeli dengan uang hasil keringat saya dan/atau suami. Ada usaha di balik setiap lembaran uang yang kita keluarkan. Ada ucapan ‘alhamdulillah’ di setiap gajian yang kita terima. Karena itu, saya belajar untuk tidak menyia-nyiakan setiap benda yang lolos seleksi hingga waktunya mereka menyerah. Dan juga, belajar untuk lebih sering berterima kasih atas kemampuan untuk membeli benda-benda itu. Bener deh, jadi lebih sering bilang ‘alhamdulillah, terima kasih ya Allah’. Padahal saya bukan orang yang relijius loh.
  3. Lebih hemat karena mampu menahan keinginan berbelanja. Kalau tidak spark joy, maka untuk apa dibeli? Tentunya setiap baju, buku atau alat dapur yang ada di toko selalu membuat senang ketika disentuh atau dicoba. Tapi saya jadi terbiasa untuk membayangkan skenario berada di rumah dan bertanya apakah benda tersebut masih akan membuat saya senang seperti di toko atau tidak. Untuk buku, yang adalah cinta mati, saya terbantu dengan Singapura yang punya sistem perpustakaan yang super canggih dan kekinian itu. Maka jika tertarik pada sebuah buku, saya akan meminjam dulu di perpus dan jika dia pantas naik kelas menjadi kitab, baru akan saya beli. Alhasil, jalan-jalan ke toko buku berubah menjadi window shopping. Pencapaian luar biasa untuk saya.

Lebay? Mungkin. Tapi sejak merasakan utamanya ketiga efek tersebut, saya merasa lebih bisa bernafas di rumah. Bebas, tidak terbebani oleh benda-benda yang saya miliki, tidak pusing melihat kertas bertebaran atau cucian yang belum dilipat/disetrika. Karena, benda saya hanya sedikit sehingga acara bebersih jadi jauh lebih singkat, dan karena itu, menyenangkan. Dan pula, saya jadi tau semua lokasi dan apa saja benda yang saya miliki. Bahkan suami yang berantakan dan mata kuda itu pun (ehm!) bahagia dengan praktek konmari saya ini dan akhirnya ikut melakukan.

Praktek konmari juga memberikan dampak pada bagaimana saya memandang hidup lebih umum. Bagaimanakah dampak itu, mungkin akan terlihat pada tulisan-tulisan saya di masa depan. Yang pasti, saya jadi sadar bahwa melakukan decluttering membawa banyak clarity dalam pikiran saya. Banyak yang bilang bahwa kalau kamu merasa pikiranmu ruwet seperti labirin, banyak masalah tanpa solusi, atau tersesat dalam perandai-andaian (‘what if’s), coba deh melirik ke perbendaan yang kamu miliki. Jumlah dan bagaimana kita mengatur perbendaan milik kita adalah refleksi dari apa yang ada di otak kita. Bagi saya pribadi, perubahan yang saya rasakan cukup fundamental sampai pada titik saya berniat ganti profesi menjadi konsultan profesional metode konmari.

Nah, sambil menunggu bisa bersertifikat, kalau teman-teman ada yang tertarik ingin mencoba dan perlu bantuan, silahkan menghubungi saya ya. Mari saya bantu dengan riang gembira. Beneran loh ini tawarannya!

# Ditulis di antara awan menuju Singapura/19 Maret 2017

Bagi yang belum membaca bukunya namun tertarik ingin tau lebih lanjut tentang konmari, silahkan baca sharing pengalaman mereka yang sudah melakukan di sini, sini dan di sini.

 

One Reply to “”

  1. Salam Spark Joy! Gw ikutan Konmari semenjak dua tahun yang lalu, tapi kayaknya mesti decluttering besar2an lagi nih. Soalnya kurang disiplin dan masih nimbun berbagai barang, terutama baju 🙂

Leave a comment